Senin, 07 Oktober 2019

Review Novel 2: Truth

Seperti janji sebelumnya, jika ada yang yang pertama, maka akan ada yang selanjutnya. Kali ini kembali dengan Review Novel 2: Truth.

Novel ini belum terbit versi cetak bahkan e-book, masih ada di Wattpad, jadi bisa kalian baca gratis!

Worth it-kah novel ini untuk dibaca?

Sebelum menjawabnya, ada baiknya kita kenalan dengan penulis.

Namanya Adityo Wahyu Nugroho, nama penanya Yuse Nugi! Badass enggak, tuh, nama penanya? Udah mirip nama cucu Kakek Sugiono. Hahaha....  Umurnya udah 27 tahun. Dia seorang penulis amatir, sama seperti saya, masih dalam tahap penemuan jati diri dan gaya khas dalam menulis. Karyanya di Wattpad lumayan banyak, ada 5 karya, yang masing-masing sudah memiliki jumlah pembaca yang lumayan.

Lantas? Layakkah novel ini untuk dibaca?

Sangat layak!

Kenapa?

Karena meskipun "Truth" merupakan novel teenfiction, fokusnya tak hanya sekadar soal percintaan remaja, walaupun benar cerita ini bergerak karena masalah itu, tetapi tema persahabatan, pem-bully-an di sekolah, dan pengungkapan kebenaran yang harus diutamakan dibanding percaya kabar angin, sangat kuat terasa. Namun, tetap ringan untuk dibaca remaja, apalagi di dalamnya terdapat badboy dan goodboy yang sedang digandrungi para remaja sekarang.

Dari segi cerita, plot-nya sederhana, tetapi dibawakan dengan sangat mengalir oleh kepandaian penulis meramu kata. Diksi yang digunakan boleh saya bilang "ajaib", tak terpikir kata tersebut bisa digunakan untuk sebuah cerita, sedikit absurd, tetapi masuk. Kalian bakal tahu kalau sudah membaca. Hahaha....

Penulisannya sudah lumayan rapi, tetapi ada beberapa typo dan kesalahan penggunaan "ku" dan hal teknis lainnya yang masih dapat dimaklumi.

Penokohan sangat baik, karakternya sangat kuat untuk setiap tokoh. Namun, ada yang ganjil sedikit di tokoh sampingan, teman si tokoh utama yang dipanggil Gendut. Di ending terjadi perubahan besar yang terjadi padanya, tetapi tak dimunculkan sedikit pun dalam cerita yang mengisahkan proses perubahannya, dari sejak dia dimotivasi sampai dia tiba-tiba muncul di ending. Tak ada teman-teman yang mengenalinya saat mendekati ending. Lantas selama proses itu apakah si Gendut tidak sekolah?

Secara keseluruhan, di luar kesalahan kecil yang ada, novel "Truth" layak kalian baca, apalagi untuk para remaja. Saya yang sudah tidak remaja saja dibuat tersenyum-senyum dengan keunikan tokoh di dalam ceritanya.

Sekian Review Novel 2: Truth kali ini, untuk review selanjutnya, saya akan me-review novel salah satu penulis yang bernaung di tempat yang sama dengan saya di Cabaca, novel bergenre romance yang sayang jika kalian lewatkan. Jadi? Tetap setia membaca blog ini! Sampai jumpa di posting-an selanjutnya! Bagi yang mau membaca "Truth", silakan sentuh link berikut: https://my.w.tt/acwH0F0oA0



Kamis, 03 Oktober 2019

Cermin 1: Jika Esok Aku Mati

#JikaEsokAkuMati

Akan kubunuh dia yang selalu menyiksa Ibuku, Ayah!

Jefri

27-9-2019

***

Langkah gontai menemani remaja tanggung itu berjalan, menyusuri jalan setapak yang penuh ilalang di kiri-kanan. Dia baru saja menyelesaikan hari yang berat, di mana seharusnya remaja seusianya baru pulang dari sekolah menengah umum, tetapi dia pulang dari bekerja sebagai buruh pelabuhan.

Kerongkongannya terasa kering, berkali-kali dia menelan liur untuk meredakan rasa. Beberapa langkah lagi dia tiba di rumah, sudah terbayang sejuknya air putih yang akan segera dirasakan. Namun, terkadang apa yang terjadi, tak sesuai dengan apa yang diinginkan.

"Berikan uang itu sialan!" sergah pria paruh baya dengan tangan mengepal ke udara, mengancam lawan bicara.

"Lepaskan Ibu, brengsek!" teriak si remaja tanggung dari depan pintu.

Pria paruh baya itu menatapnya nyalang, gemuruh di dadanya memuncak.

"Kau bilang 'brengsek'? Beraninya kau berkata seperti itu kepada ayahmu!" bentaknya.

"Sudah ... sudah, akan kuberikan, tetapi jangan kau apa-apakan Jefri!" pinta wanita yang merupakan ibu si pemuda.

Tatapan nanar si pria beralih ke wanita di depannya. "Coba dari tadi kau turuti perinrahku! Tak perlu aku melakukan semua ini bukan?"

"Jangan Bu! Itu uang Jefri kumpulkan buat Ibu berobat!"

Tawa si pria pecah. "Untuk apa kau mengobati ibumu? Sebentar lagi juga dia mati! Dia sekarat! Apa kau bodoh?"

"Benar, Nak! Tak perlu mengobati ibu," ucap ibu si pemuda diiringi isak tangis.

"Kau dengar?" Si pria tersenyum licik. "Cepat berikan padaku uangnya!" Dilepasnya cengkraman pada kerah baju istrinya.

Si istri langsung bangkit berdiri dengan susah payah, ditambah isak tangis yang tak bisa tertahan lagi. Dia berjalan menuju kamar, mentaati perintah pria yang tak layak disebut suami.

"Kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu? Bangsat!"

"I-ini uangnya. Pergilah, dan jangan ganggu kami lagi!"

"Aku tak akan mengganggun kalian, jika kau memenuhi kemauanku!"

"Pergi kau anj**g!"

"Jaga mulutmu Jefri! Jangan bertingkah sama seperti dia! Kau berbeda, kau anak ibu, jangan bersikap seperti dia!"

Pria tersebut hanya tertawa, lantas melangkah pergi meninggalkan kekacauan yang tercipta.

Belum lama si pria pergi, ibu si pemuda ambruk ke lantai setelah mencengkeram dadanya dengan kuat.

"Ibu!" teriak Jefri lantas segera menghampiri.

***

"Bagaimana keadaan Ibu, Dokter?" Tatapan Jefri penuh harap saat pria berjubah putih keluar dari ruang I.C.U.

"Ibumu harus segera dioperasi. Jantungnya semakin melemah. Apa kamu bisa memenuhi biaya administrasi awal secepatnya?"

Jefri masih berdiri di hadapan dokter, tetapi dia merasa jatuh ke dalam lubang gelap tanpa akhir. Kepalanya hampir pecah karena memikirkan ucapan tersebut. Dari mana dia mendapatkan uang?

"Akan saya usahakan," ucapnya ragu.

Dokter berlalu. Jefri menghempaskan tubuhnya duduk di kursi tunggu depan ruang I.C.U.

Satu jam berlalu tanpa berbuat apa-apa. Diambilnya ponsel dan membuka segala macam media sosial mencari ide untuk mendapatkan uang, hingga dia terdiam ketika menatap timeline Facebook seseorang.

"Jika Esok Aku Mati?" Matanya membaca dengan teliti lantas tersenyum. "Jawaban mereka indah-indah! Aku sangat iri," ucapnya sendu.

Tangannya lantas ringan mengetik di timeline Facebook miliknya.

#JikaEsokAkuMati

Akan kubunuh dia yang selalu menyiksa Ibuku, Ayah!

Jefri

27-9-2019

Dia tertawa setelah menulis kata-kata tersebut, dan mematikan layar ponselnya.

"Jika esok aku sungguh mati, maka hari ini aku akan membawanya bersamaku!"

Suasana yang tenang berubah mendadak. Riuh terdengar dari dalam ruang I.C.U. Beberapa perawat keluar dengan separuh berlari. Tak lama dokter yang berbicara kepada Jefri datang dan menuju ke ruang I.C.U.

"Ada apa, Dokter?" Jefri mencegatnya.

"Nanti saya jelaskan! Ibu Anda sekarang butuh penanganan."

Mendengar ucapan itu dia tak mampu menghalangi lagi. Dia berdiri terdiam, tak tahu apa yang harus diperbuat.

Lamunannya buyar oleh bunyi ponsel. Diambil dan dilihatnya layar notifikasi. Tulisan isengnya mendapat jawaban dari si penggagas ide lewat inbox.

"Lakukanlah?" ucapnya membaca pesan masuk tersebut.

"Lakukan apa?" balasnya.

"Lakukanlah apa yang kamu tulis, dan aku akan membantu operasi ibumu!"

Dia tak percaya begitu saja, tetapi kondisinya mendesak, lagipula, dari mana dia tahu kondisi ibunya?

Belum sempat dia membalas, pesan kembali masuk.

"Ibumu akan selamat, aku berjanji! Namun, kau harus melakukan apa yang telah kau tulis!"

Dia tak merisaukan lagi soal kejanggalan yang terjadi. Hal yang membuatnya yakin adalah, si pengirim pesan—pembuat posting-an #JikaEsokAkuMati, bisa tahu kondisi yang dia hadapi. Pikirnya pasti dia benar mampu melakukan keajaiban itu.

"Baiklah, akan kulakukan! Selamatkan Ibuku!"

***

Pukul 11.58 Malam

"Kau kalah lagi!" Gelak tawa sekelompok orang yang tengah bermain kartu terdengar seketika. Dikumpulkannya uang yang terhampar di antara kartu-kartu di atas meja.

"Sial!" Maki si pria yang kalah tersebut, dia ayah Jefri.

"Mintalah uang ke istrimu lagi!" seru salah satu di antara mereka.

"Benar itu!" sambut pria yang menang masih dengan tawanya.

Wajah kesalnya tak bisa disembunyikan. Baru saja berdiri dia langsung dikejutkan dengan apa yang ada di hadapannya.

"Nah! Kebetulan sekali, kan? Anakmu sudah ada di sini! Mintalah padanya."

"Kenapa kau ke sini? Apa kau mau memberi ayah uang?"

Jefri tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Kedua tangannya tersembunyi dibalik badan.

"Ternyata ibumu masih perhatian dengan ayah, ya?" Ayahnya mendekat menghampiri Jefri, berharap mendapat uang tambahan untuk memulai permainan kembali. "Mana?" ucapnya saat berada satu langkah di hadapan Jefri.

"Ini!" Tanpa basa-basi sebilah pisau dihunuskannya ke perut ayahnya berkali-kali dengan sangat cepat.

Teman-teman ayahnya terpana dengan apa yang mereka lihat. Ayah Jefri pun tak menyangka apa yang tengah terjadi. Mulutnya ternganga, ingin berucap tapi tak bisa.

Darah mengalir keluar dari tubuh. Pijakannya goyah. Badannya yang kokoh seakan telah rubuh. Dia sekarat.

"K-kenapa?"

"Kenapa? Aku ingin ibu hidup lebih lama!"

Ayahnya ambruk ke tanah, bersimpuh tepat di kaki Jefri.

Suasana begitu sunyi, tak ada yang berani berkata, bahkan berteriak minta tolong. Tatapan Jefri membuat semuanya memilih bungkam.

Jefri pergi meninggalkan mayat ayahnya begitu saja. Melangkah pergi dengan ringannya. Dia berhenti sejenak di tepi jalan besar, setelah cukup jauh berjalan dari TKP, dan melihat notifikasi di ponselnya.

"Tadi ada donatur yang datang untuk membiayai operasi ibumu, dan operasinya berjalan lancar, dia akan baik-baik saja mulai sekarang." Sebuah pesan yang dia terima dari dokter yang menangani ibunya.

Dia tersenyum lega. "Ternyata 'dia' tidak berbohong," gumamnya.

Dengan penuh rasa bahagia dia kembali melangkah, menyeberangi jalan tanpa melihat situasi lagi.

Brak ....

Suara hantaman keras terdengar di telinganya, sayangnya dialah yang terhantam sebuah truk berkecepatan tinggi yang melintasi jalan.

Tubuhnya terpental jauh dari titik tabrakan. Tulang-tulangnya patah. Darah mengalir dari mulut, mata dan hidung.

Supir truk terlihat panik, tetapi langsung memutuskan untuk pergi karena kondisi jalan yang sepi dan tak ada saksi. Namun, ada seorang pria yang berjalan mendekati.

"Janjiku sudah terpenuhi, begitu pun janjimu ...," ucapnya lirih.

"K-k ... kau!"

"Ya, itu aku! Penyelamat ibumu!" Senyum aneh terukir di wajahnya.

Pemandangan itulah yang terakhir kali dilihat oleh si Jefri, bukan menatap wajah ibunya yang kembali sehat.

"Tunggu aku di neraka!" ucap pria tersebut lantas menghilang begitu saja dalam gelapnya malam.

-Tamat-